Leluhur: Orang-orang dari Sela
Dikutip oleh HJ de Graaf[a] bahwa Jan Pieterzoon Coen menguraikan bahwa kakek buyut Raja Mataram ketika itu (=Sultan Agung Hanyakrakusuma) –yaitu Ki Gede / Ki Ageng Pemanahan- adalah “seorang rakyat biasa dari Desa Mataram… seorang pembawa sirih Raja Paty -yang- karena keberaniannya dalam penggunaan senjata dan akal, mengalami nasib mujur sehingga bisa meloncat dari kedudukan yang rendah dalam masyarakat menjadi orang yang berkuasa atas rakyat banyak dan kerajaan….”[b]
Ki Ageng Pemanahan adalah ayahanda Panembahan Senapati, pendiri kerajaan di Yogyakarta (Kotagede), wafat tahun 1584 M. Ia adalah salah satu dari ‘Tiga Tokoh dari Sela’, orang-orang kepercayaan Sultan Hadiwijaya / Mas Karebet / Jaka Tingkir di istana Pajang. ‘Tiga Tokoh dari Sela’ tersebut yaitu:
- Ki Gede Pemanahan, putra dari Ngenis (Ki Ageng Ngenis), menikahi sepupunya, putri dari bibinya Nyai Gede Saba.
- Ki Juru Martani, adalah putra dari Nyai Gede Saba. Jadi Ki Juru Martani adalah sepupu sekaligus saudara ipar Ki Gede Pemanahan.
- Ki Panjawi, seorang keluarga sederajat, juga putra angkat Ki Ageng Ngenis. Ia diperlakukan sebagai kakak oleh Pemanahan maupun Juru Martani. Kelak saat Panembahan Senapati awal membangun Mataram, ia menjadi Adipati Pati, dan akan berputra Adipati Pragola (I).
Serat Kandha menyebutkan bahwa Ki Ageng Ngenis dengan seluruh keluarganya mendapat pekerjaan pada raja Pajang (Sultan Hadiwijaya) yang begitu senang padanya, sehingga ia diberi tanah Laweyan (di Surakarta, ada hingga kini) sebagai hadiah. Ki Ageng Ngenis meninggal di sana. Setelah meninggalnya, Ki Pemanahan dan Ki Panjawi menjadi lurah para prajurit tamtama Pajang.
Ki Ageng Ngenis, kakek Panembahan Senapati (=Danang-Sutawijaya) adalah berasal dari Sela, karena ia adalah putra Ki Ageng Sela. Jadi, Ki Ageng Sela adalah kakek buyut Panembahan Senapati. Nama-nama Ki Gede (=Ki Ageng) adalah menunjukkan bahwa ia adalah pembesar dari wilayah tersebut. Namun perlu diketahui, bahwa Sela yang disebut di sini bukanlah wilayah Sela yang terletak di antara gunung Merapi dan Merbabu, melainkan Sela yang ada di wilayah Grobogan. Ki Ageng Sela kakek buyut dari Panembahan Senapati inilah yang diceritakan dalam cerita legenda turun-temurun memiliki kesaktian mampu menangkap petir itu. Saya masih ingat sedikit di masa kecil orang tua-tua cerita bahwa kami sebagai orang Mataram bila saat petir menyambar dapat menyahutnya dengan bilang, “Gandrik! Putune Ki Ageng Sela!” (Astaga! (Saya) cucu Ki Ageng Sela!). Dengan begitu, petir akan menghindar.
Tiga Tokoh dari Sela
Ki Gede Pemanahan, putra Ngenis, diberi nama sesuai dengan daerah yang dikuasakan kepadanya oleh raja Pajang. Daerah itu masih dapat ditemukan kini, yaitu Manahan, suatu daerah di sebelah barat Solo. Di sana juga terdapat pemandian Ki Gede. Nama sebenarnya Ki Gede Pemanahan tidak disebutkan dalam Babad Tanah Djawi. Dari Sadjarah Dalem (Padmasoesastra, 1912) juga dari Van der Horst (1707) kita dapat mengenal sebuah nama kecil: Bagus Kacung.
Fungsi militer Ki Gede Pemanahan dan Ki Penjawi dengan demikian tidak perlu menimbulkan keheranan dalam suatu masyarakat seperti di Jawa ketika itu. Sedangkan tugas khusus yang terletak di atas pundak Ki Juru Martani, ialah seperti yang biasanya diceritakan oleh dongeng tradisional, yakni sebagai penasehat yang bijaksana. Mungkin peranan ini tetap dimainkan Ki Juru Martani sampai ia meninggal (kira-kira pada tahun 1613 M, Kraton Mataram di Kotagede berdiri pada th. 1577 M).
Ikatan para tokoh dari Sela tersebut dengan Pajang menjadi lebih erat dengan diangkatnya putra Ki Gede Pemanahan Raden Bagus Srubut, yaitu Senapati di kemudian hari, sebagai anak oleh Raja (=Sultan Hadiwijaya). Maksud Raja dengan demikian ialah untuk menggunakannya sebagai lanjaran, sehingga kelak ia sendiri juga akan mempunyai anak laki-laki.
Raja (Sultan Hadiwijaya) mengangkat Raden Bagus Srubut menjadi Raden Mas Danang (Sutawijaya). Danang atau danar adalah berarti kuning muda yang indah. Raja juga menghadiahkan kepadanya sebuah payung kuning keemasan. Begitu sempurnanya pendidikan yang diperolehnya dalam masalah-masalah militer dan kenegaraan sehingga ayahnya sendiri memanggilnya “Gusti”.
Beberapa waktu kemudian Raja mendapatkan seorang putra laki-laki, Pangeran Benawa.
Setelah dewasa, Raden Bagus Srubut = Raden Mas Danang ini barulah diangkat sebagai Ngabehi dengan gelar Raden Ngabehi Sutawijaya, yang mempunyai hubungan dengan nama raja sendiri: Hadiwijaya. Suta berarti putra. Karena ia mendiami dalem (=rumah) di sebelah utara (=lor) pasar, ia juga dinamakan Ngabehi Loring Pasar. Menurut Babad Tanah Djawi, ia bahkan menjadi pemimpin para tamtama.
Demak Sepeninggal Sultan Trenggana
Raden Patah, pendiri Demak berputra-putri beberapa orang, yaitu: 1. Pati Unus = Pangeran Sabrang Lor, meninggal saat muda ketika masih belum mempunyai anak pada tahun 1521 M. 2. Pangeran Sekar Seda Lepen berputra Aria Penangsang (=Adipati Jipang di Bojonegoro) 3. Sultan Trenggana berputra Sunan Prawata 4. Ratu Kalinyamat di Jepara. 5. Seorang putri yang dinikahi Karebet/Jaka Tingkir/Hadiwijaya. 6. Pangeran Timur, selanjutnya nanti ia akan menjadi Panembahan di Madiun.
Sepeninggal Raden Patah, karena putra sulungnya meninggal dalam usia muda itu, ternyata bukan urutan putra berikutnyalah yang menggantikannya, yaitu Pangeran Sekar Seda Lepen. Yang menggantikan Raden Patah memimpin Demak adalah ia yang nanti disebut sebagai Sultan Trenggana. Pada masa Sultan Trenggana ini Demak mencapai kejayaannya, antara lain sampai menyerang Pelabuhan Sunda Kelapa untuk mengusir Portugis. Sultan Trenggana memimpin Demak hingga ia terbunuh (?) di depan benteng Panarukan (perang dengan Blambangan?) pada tahun 1546 M (Babad Tanah Djawi menyebutkan Sultan Tranggana meninggal di tempat tidur).
Pinto, orang Portugis, memberitakan bahwa dengan meninggalnya Sultan Trenggana, timbul kekacauan yang sangat besar di kerajaan Jawa Demak ini, sehingga Pinto tidak lagi merasa dirinya aman, lalu meninggalkan pulau Jawa yang indah ini. Pinto khawatir bahwa keadaan demikian akan berlangsung terlalu lama sebelum menjadi tenang kembali. Dan ketakutannya ini memang beralasan.
Jaka Tingkir sebagai menantu Sultan Trenggana memperoleh tanah di Pajang. Dalam kepemimpinannya daerah ini menjadi semakin luas dan sejahtera. Menerima kabar bahwa mertuanya, Sultan Trenggana, sakit keras; Jaka Tingkir bergegas pergi ke Demak. Tetapi kunjungan ini ternyata tidak lagi dapat membantu raja yang sakit keras itu. Sultan Trenggana meninggal tidak lama kemudian, dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Demak. (Serat Kandha)
Pewaris Trenggana yang sah, Pangeran Aria (=yang nanti disebut sebagai Sunan Prawata), dikatakan tidak mau naik tahta; dan dengan sukarela menjadi Priayi Mukmin atau Susuhunan yang keramat di Prawata. Dalam hal ini, tentang kepewarisan tahta kepemimpinan Demak, terlihat ada dua orang yang telah dilalui atau dilewati begitu saja. Ini memang mengherankan. Mereka yang dilewati itu adalah Pangeran Sekar Seda Lepen dan putranya, Aria Penangsang. Ini tentu menimbulkan penasaran bagi Aria Penangsang, orang yang merasa hak-nya telah dilangkahi. Kejengkelannya bertambah besar saat ia mengetahui bahwasanya sebelum Pangeran/Sunan Prawata menjadi susuhunan yang keramat, Pangeran Prawata ternyata telah menyuruh pesuruhnya Surayata membunuh ayah Penangsang, Pangeran Seda Lepen.
Maka, mudah dimengerti bahwa sejak itu Penangsang menggunakan jalan apa pun, bukan hanya untuk membalas dendam, tetapi juga untuk merebut kekuasaan. Karena itu, Penangsang berusaha agar semua keturunan dan kerabat Sultan Trenggana yang bisa menuntut hak untuk turut memimpin negara dihancurkan, terutama yang berkerabat paling dekat. Dalam hal ini ialah putra-putra dan menantu-menantu Sultan Trenggana, yakni Pangeran/Sunan Prawata yang tinggal di Demak atau sekitar itu; Pangeran Kalinyamat, suami Ratu Kalinyamat di Jepara; akhirnya Jaka Tingkir, raja Pajang. Percobaan-percobaan pembunuhan atas diri mereka dilakukan memang berdasar urutan itu. Semuanya berhasil kecuali terhadap Jaka Tingkir. Justru puncak peperangan Aria Penangsang dengan pasukan Jaka Tingkir-lah yang nanti membawanya kepada kekalahan, bahkan kematiannya.
Peperangan Melawan Jipang
Setelah gagalnya percobaan pembunuhan terhadap Raja Pajang Hadiwijaya oleh Aria Penangsang, keadaan menjadi tidak menentu. Diceritakan bahwa yang dikirim oleh Aria Penangsang untuk membunuh Hadiwijaya di Pajang adalah empat orang penjaga keputren. Hadiwijaya sedang tidur berselimut dodot (kain batik yang biasa dikenakan untuk pakaian bagian bawah). Para pengawal keputren itu mencoba menikam Hadiwijaya, tetapi sia-sia. Bahkan dodot-nya pun ternyata kebal. Hadiwijaya tidak saja memberi ampun kepada calon-calon pembunuh itu, tetapi juga memberi uang dan pakaian. Mereka pulang dan menyampaikan laporan kepada gustinya, Penangsang.
Hadiwijaya berkunjung kepada Ratu Kalinyamat di Jepara yang bertapa berkabung atas kematian suaminya. Hadiwijaya mendapat kesan yang lebih baik karena terharu melihat penderitaan Ratu Kalinyamat, dan berjanji akan segera menolongnya.
Pulang melapornya dan gagalnya keempat penjaga keputren itu membuat Aria Penangsang khawatir. Ia meminta nasehat Sunan Kudus. Ia memohon agar Sunan Kudus memanggil Raja Pajang itu. Setelah pertemuan tegang yang terjadi, keduanya kembali ke pesanggrahan masing-masing. Penangsang di sebelah timur dan Hadiwijaya di sebelah barat Bengawan Sore.
Hadiwijaya berjanji akan menghadiahkan tanah Mataram dan tanah Pati kepada barangsiapa yang dapat mengalahkan Penangsang. Tidak ada seorang pun yang berani, kecuali Pemanahan dan Penjawi. Esok harinya Ketiga Tokoh dari Sela itu mengumumkan akan menyerang Aria Penangsang. Mereka hanya memohon ijin untuk membawa serta putra angkat raja, Sutawijaya. Maka berangkatlah keempat orang Sela itu dengan 300 orang pengikut ke tepi barat Bengawan Sore. Mereka menangkap seorang penyabit rumput pemelihara kuda dari Jipang, melukai sebelah telinganya dan menggantungkan surat tantangan di sebelah telinganya lagi.
Kedatangan pekathik (pemelihara kuda) yang teraniaya beserta surat penghinaan itu benar-benar menimbulkan kemarahan luar biasa bagi Aria Penangsang. Karena marahnya, tangannya yang sedang mengepal nasi memukul piringnya sampai pecah.
Penangsang lari ke atas kudanya, melecutnya keras-keras. Setelah mengeluarkan kata-kata ejekan dan tantangan, Raja Jipang itu menyeberangi kali. Terjadilah pertempuran sengit. Yang termuda dari keempat orang Sela itu, Sutawijaya, berhasil melukai perut Aria Penangsang dengan tombak Kiai Plered. Ki Juru Martani dengan cerdiknya melepaskan seekor kuda betina, sehingga Gagak Rimang kuda jantan Aria Penangsang menjadi liar. Luka perut Aria Penangsang terbuka, isi perutnya keluar sehingga membawa kematiannya di tahun 1558 M itu.
-o0o-
(bersambung)
Lihat artikel/posting terkait di situs/blog berikut:
Orisinil ditulis lagi oleh Kang Nur berdasar sumber rujukan:
Dr. H.J. De Graaf, Awal Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senapati, Penerbit PT Grafiti Pers, Jakarta, 1985.
Judul asli: De Regering van Panembahan Senapati Ingalaga, KITLV, Leiden, 1954.